Pawartos Ndeso merangkai cerita dari penjuru negeri
Bulan Suro, bulan pertama dalam kalender Jawa, sering dianggap sebagai waktu yang penuh dengan malapetaka dan karma buruk. Kepercayaan ini telah tertanam dalam tradisi Jawa dan masih dipegang oleh sebagian masyarakat hingga kini.
Salah satu mitos yang berkembang di masyarakat adalah bahwa menikah pada bulan Suro dapat membawa nasib buruk dalam kehidupan pernikahan. Akibatnya, banyak orang yang menghindari untuk melangsungkan pernikahan selama bulan ini, meskipun tidak semua orang mempercayai mitos tersebut.
Penting untuk dipahami bahwa mitos ini bukanlah kebenaran absolut. Nasib baik atau buruk dalam kehidupan pernikahan tidak ditentukan oleh bulan pernikahan, melainkan oleh komitmen, usaha, dan komunikasi yang baik antara pasangan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap berpikir rasional dan kritis saat menilai kepercayaan semacam ini.
Mitos Larangan Menikah di Bulan Suro
Larangan untuk menikah pada bulan Suro masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Jawa. Tradisi ini berakar dari keyakinan bahwa bulan Suro adalah waktu yang tidak menguntungkan untuk menjalankan berbagai kegiatan, termasuk pernikahan.
Para sesepuh adat dan tokoh spiritual memainkan peran penting dalam menjaga kepercayaan ini. Mereka percaya bahwa mengabaikan larangan tersebut dapat membawa kemalangan bagi pasangan yang menikah di bulan Suro. Bahkan, beberapa upacara adat dilakukan untuk menghormati larangan ini, seperti doa bersama dan selamatan, dengan harapan untuk menghindari nasib buruk bagi mereka yang berani melanggar.
Meskipun zaman telah berubah dan modernisasi merambah, tradisi ini masih dipelihara oleh sebagian masyarakat Jawa. Ini mencerminkan betapa kuatnya penghargaan terhadap warisan leluhur dan budaya yang masih dijaga hingga kini. Dengan demikian, larangan menikah di bulan Suro menjadi bagian penting dari kearifan lokal dan warisan budaya Jawa yang patut dilestarikan.
Perspektif Islam terhadap Bulan Suro
Mengutip dari situs resmi Nahdlatul Ulama (NU), KH Marzuki menjelaskan makna filosofis di balik tradisi pelarangan perayaan pada bulan Asyura atau Muharram, yang dikenal dalam kalender Jawa sebagai bulan Suro. Menurutnya, larangan ini ada untuk menghormati duka cita keluarga Rasulullah SAW.
Muharram dianggap sebagai bulan kesedihan bagi keturunan Nabi Muhammad SAW, terutama mengingat tragedi yang menimpa cucu Nabi, Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang mengalami penderitaan dan kematian pada bulan ini. Oleh karena itu, bulan Asyura sering kali dianggap sebagai waktu berkabung.
KH Marzuki juga menekankan bahwa bagi mereka yang mencintai Nabi, mengadakan perayaan besar, seperti pesta pernikahan atau khitanan, pada bulan Muharram tidaklah pantas. Aturan ini dimaksudkan untuk menghormati dan menjaga perasaan keluarga Rasulullah SAW dan keturunannya, sehingga umat Islam dianjurkan untuk menghindari kesenangan berlebihan selama mengenang tragedi ini.
