Dalam tradisi penanggalan Jawa, malam pertama bulan Muharram dikenal dengan sebutan malam 1 Suro. Malam ini menandai pergantian Tahun Baru Islam dalam kalender Hijriah.
Secara etimologis, “Suro” berasal dari kata Arab “Asyura,” yang berarti “sepuluh,” merujuk pada tanggal 10 bulan Muharram. Nama Suro menggarisbawahi pentingnya sepuluh hari pertama dalam bulan Muharram tersebut.
Bagi banyak masyarakat Jawa, malam 1 Suro dianggap sebagai malam yang sakral atau penuh keramat. Hal ini dikarenakan malam ini termasuk dalam sepuluh hari pertama bulan Suro yang dianggap lebih sakral dibandingkan hari-hari setelahnya.
Banyak mitos dan kepercayaan yang beredar mengenai malam ini, terutama tentang larangan melakukan aktivitas tertentu di bulan Suro karena dianggap pamali. Apa saja larangan yang diyakini oleh masyarakat Jawa terkait malam 1 Suro ini?
Larangan pada Malam 1 Suro
Bagi masyarakat Islam-Jawa, kesakralan bulan Suro menimbulkan keyakinan akan adanya larangan melakukan aktivitas tertentu. Namun, larangan ini bukan karena ketakutan atau tabu semata.
Menurut buku “Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa” oleh Muhammad Sholikhin (2010: 84), masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan Suro adalah bulan yang paling agung dan termulia, yakni bulan milik Allah. Karena keagungan bulan ini, dianggap bahwa manusia biasa “terlalu lemah” untuk mengadakan perayaan besar di bulan Allah.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, hanya raja atau sultan yang dianggap cukup kuat untuk menyelenggarakan hajatan di bulan Suro. Oleh karena itu, bulan Suro dianggap sebagai waktu hajatan bagi keraton, dan rakyat biasa akan merasa kurang layak jika melakukan hajatan besar di bulan ini.
Sehingga, alasan utama mengapa masyarakat Jawa tidak boleh melakukan hal-hal tertentu dalam bulan Suro bukanlah karena bulan ini berbahaya atau membawa malapetaka, tetapi karena dianggap terlalu mulia bagi manusia biasa untuk merayakannya.
Meski demikian, sebagian masyarakat Jawa masih takut melakukan aktivitas tertentu karena adanya banyak mitos yang dipercayai. Berikut ini adalah beberapa larangan yang dikenal dalam tradisi Islam-Jawa terkait malam 1 Suro:
- Larangan Mengadakan Pernikahan
Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro dapat membawa malapetaka. Menurut buku “Panduan Syahadat” oleh Taufiqurrohman (2015), mengadakan pernikahan pada bulan Suro diyakini akan membawa nasib buruk bagi pasangan pengantin dan semua orang yang terlibat.
Ada juga mitos yang menyatakan bahwa bulan Suro adalah bulan “menantu” Nyi Roro Kidul, sehingga jika mengadakan perayaan besar pada bulan ini, sang penguasa laut selatan akan marah dan menuntut korban.
- Larangan Membangun Rumah
Orang Jawa juga percaya bahwa membangun rumah di bulan Suro adalah pamali dan bisa mendatangkan nasib buruk bagi pemiliknya. Selain itu, pindah rumah juga dilarang selama bulan ini.
- Larangan Keluar Rumah
Masyarakat Jawa percaya bahwa arwah leluhur akan kembali ke rumah keluarganya pada malam 1 Suro. Oleh karena itu, mereka dianjurkan untuk tidak keluar rumah. Ada juga kepercayaan bahwa banyak jin yang berkeliaran pada malam ini, yang bisa membahayakan manusia. Untuk menghindari nasib buruk, orang-orang disarankan untuk tetap di rumah dan tidak bepergian jauh.
- Larangan Memulai Usaha Baru
Bulan Suro dianggap tidak cocok untuk memulai bisnis baru atau usaha baru. Masyarakat Jawa meyakini bahwa memulai usaha baru di bulan ini dapat membawa kemunduran dan kegagalan dalam bisnis. Sebaliknya, bulan ini lebih baik digunakan untuk refleksi, evaluasi, dan perencanaan bisnis masa depan.
- Larangan Meminjam atau Memberikan Pinjaman Uang
Di beberapa daerah Jawa, ada keyakinan bahwa meminjam atau memberikan pinjaman uang di bulan Suro akan membawa kesialan dan masalah keuangan. Orang Jawa percaya bahwa uang yang dipinjam atau diberikan selama bulan ini tidak akan kembali dan akan menyebabkan ketidakberuntungan dalam keuangan.
- Larangan Mengadakan Pertunjukan Wayang Kulit
Wayang kulit adalah salah satu seni pertunjukan yang sangat dihormati di Jawa. Namun, ada larangan untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit selama bulan Suro. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa bulan ini adalah waktu untuk menghormati leluhur dan merenungkan makna kehidupan, sehingga pertunjukan wayang kulit dianggap tidak pantas dilakukan pada bulan ini.
Meskipun larangan-larangan ini lebih bersifat kepercayaan budaya daripada didukung oleh bukti ilmiah, banyak masyarakat Jawa modern yang tidak lagi mematuhi larangan tersebut. Namun, larangan-larangan ini tetap menjadi bagian dari warisan budaya yang kaya dan dipertahankan oleh sebagian masyarakat Jawa yang memandangnya sebagai bagian penting dari identitas budaya mereka.
Sebagai kesimpulan, bulan Suro dalam tradisi Jawa mengandung berbagai larangan yang harus diikuti, termasuk larangan mengadakan pernikahan, membangun rumah baru, memulai usaha baru, meminjam atau memberikan pinjaman uang, dan mengadakan pertunjukan wayang kulit. Meski beberapa orang Jawa modern tidak lagi mempercayai atau mengikuti larangan-larangan ini, mereka masih dijaga oleh sebagian masyarakat yang menghormati warisan budaya mereka.