Bireun – Kontroversi terkait pemberhentian empat perangkat desa secara lisan oleh Keuchik Gampong Alue Seutui, Tgk Karmuni, Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada Februari 2023, masih terus menjadi sorotan. Alasan yang dikemukakan, yakni karena mereka perempuan dan dianggap tidak bisa bekerja penuh waktu, menuai kecaman karena dinilai sebagai bentuk diskriminasi gender.
Dari laman KabarJW, empat perangkat desa yang diberhentikan adalah Cut Nurjannah (Kaur Keuangan), Nazariah (Kepala Dusun Cot Jungkat), Rini Afrina (Kepala Dusun Alue Kambuek), dan Nazariah Sofyan (Kepala Dusun Tgk Di Saba).
Pada 22 Mei 2024, Camat Jeunieb, Yusri, mengeluarkan surat kepada Keuchik Gampong Alue Seutui untuk mengembalikan posisi keempat perangkat desa tersebut. Namun, hingga Februari 2025, instruksi tersebut belum diindahkan.
Keputusan camat ini merujuk pada surat sebelumnya yang diterbitkan pada 4 April 2023, serta arahan dari Ombudsman RI Perwakilan Aceh dan Pj Bupati Bireuen. Bahkan, tindak lanjut atas arahan ini seharusnya sudah dilakukan paling lambat akhir Juni 2024.
Menanggapi polemik ini, Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Bireuen, Nurul Fajri, menekankan pentingnya mengikuti prosedur yang jelas dalam proses pengangkatan maupun pemberhentian perangkat desa.
“Keuchik merupakan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan di wilayahnya. Oleh karena itu, proses pengangkatan perangkat desa harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan sebaiknya dikonsultasikan dengan camat sebelum keputusan dibuat,” ujar Nurul Fajri dalam wawancara dengan KabarJW.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pemberhentian perangkat desa tanpa Surat Keputusan (SK) tidak sah menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2018, Pasal 41 dan 43 Ayat (1), perangkat desa hanya dapat diberhentikan dalam kondisi tertentu, seperti ketika yang bersangkutan menjadi tersangka dan ditahan, menjadi terdakwa, atau tertangkap tangan dalam suatu tindak pidana.
“Meski surat dari camat belum diindahkan oleh keuchik, status mereka tetap sah karena SK lama masih berlaku. Selain itu, gaji mereka tetap wajib dibayarkan selama masa nonaktif,” tegasnya.
Ketua Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), Hasnawi, juga angkat bicara terkait kasus ini. Ia mengungkapkan bahwa pada 5 Juli 2024, dirinya telah mengirimkan surat kepada Pj Bupati Bireuen terkait pemberhentian perangkat desa yang dilakukan tanpa prosedur yang sah.
“Kami sudah mengirimkan lebih dari delapan surat, tetapi tidak ada respons dari pihak terkait,” tambahnya.
Ia juga mengkritik lambannya respons dari Pemerintah Kabupaten Bireuen, terutama Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Gampong, Perempuan, dan Keluarga Berencana (DPMGPKB).
“Masalah ini sudah berlangsung selama dua tahun tanpa penyelesaian. Jika alasannya karena mereka perempuan, hingga kini tidak ada aturan dari Kementerian Desa yang melarang perempuan menjabat sebagai perangkat desa,” ujar Hasnawi dalam wawancara dengan KabarJW pada 23 Februari 2025.
Menurutnya, Qanun Nomor 6 Tahun 2018, Pasal 44 Ayat (2), telah mengatur bahwa syarat pengangkatan perangkat desa mencakup minimal pendidikan SMP, usia antara 20 hingga 42 tahun, serta kriteria lain yang telah ditetapkan. Sementara itu, Pasal 42 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemberhentian perangkat desa harus melalui prosedur yang jelas dan sah.
Dengan terus berlarutnya kasus ini, nasib empat perangkat desa yang diberhentikan di Gampong Alue Seutui masih belum menemui kejelasan.
“Kami berharap pemerintah segera mengambil tindakan tegas agar hak-hak warga desa, terutama perempuan, tetap dihormati dan dijamin sesuai hukum yang berlaku,” tutup Hasnawi.