Revisi PP No 11/2019 Seperti Benang Kusut, Pemerintah Cenderung Prioritaskan Koperasi Desa Merah Putih?

Enam tahun telah berlalu sejak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2019. Aturan yang semula disambut sebagai bentuk afirmasi bagi desa ini, nyatanya kini terasa ketinggalan zaman. Ketika beban kerja kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terus menumpuk dari tahun ke tahun, angka penghasilan tetap (siltap) mereka justru stagnan. Pertanyaannya kini: sampai kapan pemerintah akan membiarkan ketimpangan ini?

PP No. 11 Tahun 2019 mengatur penyetaraan siltap kades dan perangkat desa setara dengan gaji PNS golongan II/a. Pada 2019, langkah ini memang progresif. Namun dalam konteks 2025, kebijakan ini sudah tidak relevan. Harga kebutuhan pokok melonjak, tuntutan kerja bertambah, dan dana desa yang dikelola mencapai miliaran rupiah. Namun imbal jasa yang diterima para penggerak roda pemerintahan desa ini tidak ikut naik.

Di banyak daerah, siltap kepala desa masih berkisar di angka Rp2,5 juta–Rp3,5 juta, sementara perangkat desa bahkan ada yang hanya menerima Rp1,5 juta–Rp2,5 juta. Di sisi lain, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sudah menembus Rp4 juta di daerah-daerah maju seperti Jawa Barat. Lebih memilukan lagi, insentif untuk anggota BPD masih berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp1 juta—padahal mereka memiliki peran vital dalam pengawasan APBDes dan penyerap aspirasi warga.

Baca Juga :  Hadiri Rakornas Desa 2025, Menteri Koperasi Tekankan Pentingnya Koperasi Desa Merah Putih

Ironisnya, semua ini terjadi di tengah tugas tambahan yang terus digelontorkan ke desa. Mulai dari pengelolaan dana desa, digitalisasi, hingga program nasional seperti Koperasi Desa Merah Putih. Bahkan, Inpres No. 9 Tahun 2025 meminta desa membentuk 80.000 koperasi dalam dua bulan. Bagaimana mungkin beban sebesar itu bisa diemban tanpa disertai insentif yang memadai?

Pemerintah seharusnya tidak menutup mata. Sudah waktunya PP No. 11 Tahun 2019 direvisi. Dan bukan sekadar naik angka, melainkan sebuah reformasi menyeluruh dalam cara negara memandang aparatur desa.

Mengapa Revisi PP Siltap Mendesak?

  1. Keadilan Ekonomi
    Siltap yang disetarakan dengan PNS golongan II/a pada 2019 tidak lagi mencerminkan realitas hari ini. Gaji PNS sudah naik, biaya hidup meningkat, dan beban kerja aparatur desa berlipat ganda. Minimal, siltap kades semestinya mendekati UMK. Sementara itu, insentif BPD layak ditetapkan dalam proporsi yang jelas, misalnya 50–70% dari siltap kades.
  2. Motivasi dan Integritas
    Aparatur desa yang merasa dihargai akan bekerja lebih baik, lebih jujur, dan lebih bersemangat. Revisi siltap akan mengurangi potensi penyalahgunaan anggaran dan meningkatkan kualitas pelaksanaan program nasional.
  3. Daya Tarik SDM Unggul
    Jika ingin pemerintahan desa dipimpin oleh orang-orang terbaik, maka kompensasi harus kompetitif. Jangan harap lulusan terbaik atau anak muda idealis mau terjun ke desa jika imbalan mereka tak sebanding dengan tanggung jawabnya.
  4. Efektivitas Pembangunan Desa
    Dana desa tahun 2025 mencapai Rp71 triliun. Tapi apa gunanya dana besar jika SDM pengelolanya lemah karena kurang dihargai?
Baca Juga :  DPP IMM Gelar Demo Desak Pencopotan Menteri Desa PDT

Peluang dan Tantangan Revisi PP di Tahun 2025

Momentum saat ini sangat tepat. Inpres No. 9 Tahun 2025 yang memfokuskan perhatian pada desa bisa menjadi pintu masuk revisi siltap. Organisasi seperti Asosiasi Kepala Desa Indonesia (AKDI), PPDI, dan Abpednas juga terus mendorong perubahan.

Di sisi lain, tantangan tentu ada. Tidak semua daerah punya kapasitas fiskal memadai. Belum lagi soal harmonisasi regulasi dan resistensi politis di tingkat lokal. Namun ini bukan alasan untuk diam. Pemerintah pusat bisa hadir lewat pendanaan campuran dari APBN, APBD, dan APBDes. Pendekatan bertahap juga bisa diambil agar tidak membebani kas daerah secara drastis.

Baca Juga :  Pemkab Batanghari Krisis Keuangan, Perangkat Desa Dan Honorer Berbulan-Bulan Belum Gajian

Rekomendasi Realistis untuk Pemerintah

  • Siltap Berbasis UMK
    Jadikan UMK sebagai acuan. Kades minimal 80% UMK, perangkat desa 60%, dan BPD 50%. Ini jauh lebih relevan dibanding patokan golongan PNS.
  • Pendanaan Kolaboratif
    Libatkan APBN dalam skema pendanaan siltap, terutama untuk daerah dengan PAD rendah.
  • Proporsi Insentif BPD yang Jelas
    Masukkan klausul spesifik dalam PP yang menetapkan proporsi insentif BPD.
  • Kenaikan Bertahap
    Atur kenaikan siltap dalam fase dua hingga tiga tahun agar daerah punya waktu menyesuaikan.

Negara telah mengandalkan desa sebagai tulang punggung pembangunan. Tapi bagaimana mungkin punggung itu tetap kuat jika terus dibebani tanpa disokong?

Revisi PP No. 11 Tahun 2019 bukan hanya soal angka. Ini soal keadilan, profesionalisme, dan masa depan desa. Jika kita serius ingin menjadikan desa sebagai lokomotif Indonesia Emas 2045, maka penghargaan terhadap para penggeraknya adalah langkah awal yang tak bisa ditunda lagi.

Saatnya pemerintah menjawab. Dengan kebijakan yang berpihak, bukan janji yang terus tertunda.

Opini Aam Permana S, Ketua BPD Gudang Kecamatan Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat, dan telah terbit di laman SumedangRaya-PikiranRakyat

About admin

Check Also

“en İyi Bahis Ve Online Casino Platformu

Mostbet Tr Indir Android: Mostbet Türkiye Mobil Uygulamasının Incelemesi Content Mostbet Giriş Ekranı Mostbet Casino’da …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *