Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa orang Jawa tidak memiliki marga, sementara banyak suku lain di Indonesia memiliki marga yang melekat pada nama mereka? Misalnya, suku Batak, Bugis, dan Minahasa sering kali memiliki nama belakang seperti Ginting, Hutapea, Hutabarat, Simanjuntak, Andi, Ratulangi, atau Rorimpandey.
Secara umum, marga berfungsi sebagai penanda silsilah keturunan. Marga memungkinkan individu dari suatu suku membawa diri mereka dengan tepat saat berinteraksi dengan orang dari suku lain. Ketidakhadiran marga pada orang Jawa menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dan berikut adalah beberapa alasan di balik fenomena ini.
Marga Hanya untuk Keluarga Kerajaan
Meskipun sebagian besar masyarakat Jawa tidak memiliki marga, keluarga kerajaan atau kalangan ningrat justru sebaliknya. Mereka menggunakan marga untuk menandai status mereka. Marga ini memudahkan identifikasi ketika mereka berbaur dengan masyarakat umum dan juga berfungsi sebagai pengingat untuk mematuhi kode etik keraton. Oleh karena itu, masyarakat biasa dari suku Jawa tidak membutuhkan marga karena tidak memiliki kewajiban yang sama seperti keluarga kerajaan.
Marga Hanya untuk Orang Kaya di Zaman Penjajahan
Pada masa penjajahan, nama keluarga digunakan sebagai penanda kekayaan. Orang yang memiliki banyak aset akan mencantumkan nama keluarga sebagai nama belakang untuk keperluan administrasi kepemilikan properti dan pembagian warisan. Sebaliknya, orang Jawa yang tidak memiliki harta atau yang bekerja sebagai buruh tidak memerlukan nama keluarga. Namun, seiring waktu, tradisi ini memudar bahkan di kalangan orang kaya.
Kepercayaan ‘Kabotan Jeneng’
Orang Jawa percaya dengan konsep ‘kabotan jeneng’ yang berarti ‘terbebani oleh nama’. Mereka meyakini bahwa nama yang panjang atau memiliki marga dapat membawa beban tersendiri. Nama yang berat dipercaya dapat menyebabkan tekanan dalam kehidupan seseorang karena ada ekspektasi tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan makna nama tersebut. Karena itu, orang Jawa lebih memilih nama yang sederhana dan terdiri dari satu kata. Nama-nama seperti Joko, Sri, Juminten, dan Mulyono menjadi populer karena kesederhanaannya.
Dengan demikian, tidak adanya marga pada orang Jawa bukanlah tanpa alasan. Tradisi, kepercayaan, dan kondisi sosial ekonomi di masa lalu membentuk kebiasaan ini hingga kini.